Sejarah Gretak Asam, Jembatan Legendaris di Kabupatesn Sambas

Foto. Ridho Rezky, Fredikus Jaka Sembara, Tri Yumelda, Stevhani Whulan Juli

LINTAS NEWS, SAMBAS – Jembatan Asam atau yang lebih dikenal dengan Gerattak Asam di Kabupaten Sambas, adalah salah satu keunikan dari peninggalan sejarah.

Diketahui jembatan ini di bangun pada 1937 dan selesai pada tahun 1939 dengan arsitektur yang bernama Ir. Raden Soetjipto, berasal dari Indonesia. Akan tetapi bangunan tersebut dibuat bergaya Belanda.

Berdasarkan ceritanya pada saat Jepang masuk ke Sambas, mereka memiliki misi untuk menghancurkan jejak pembangunan dan peninggalan Belanda namun, jembatan Asam tidak di hancurkan oleh Jepang.

Pada saat itu 90 persen bangunan yang dibuat oleh kolonial Belanda di bom dan diratakan dengan tanah, sementara 10 persen tersisa ada dua Jembatan besar yang menjadi urat nadi. Bahkan menjadi objek paling vital kala itu.

Dua jembatan tersebut adalah Jembatan Asam dan Jembatan Batu. Konon Kota Sambas pada masa itu dibelah menjadi dua sungai dan tidak ada jembatan, jadi untuk menyeberangi dari satusisi kota ke sudut lainnya masih mengandalkan perahu sampan atau ferri penyeberangan. Pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa di Hindia Belanda mengusulkan kepada Ratu Wilhelmina, ratu Kerajaan Belanda yang memerintah kala itu, untuk dibangun dua jembatan beton yang kokoh, masing-masing satu jembatan menghubungkan antara Kampung dalam Kaum dengan Kampung Angus-Kampung Dagang Barat dan satunya lagi menghubungkan Kampung Durian dengan Kampung Lorong-Kampung Jawa.

Ternyata usulan dengan dalil-dalil yang kuat itu diterima dengan alasannya dua jembatan beton tersebut memudahkan pergerakan pasukan apabila diserang tentara Dai Nippon dan lagi pula hasil kekayaan Kerajaan Sambas bisa untuk menutupi biaya pembangunan jembatan tersebut. Usulan dengan dalil-dalil yang kuat itu diterima Ratu Wilhelmina. Selain itu, untuk persiapan pengawalan wilayah lautan West Borrieo dari ancaman penyerangan Jepang, pemerintah kolonial Belanda mengusulkan agar ada satu kapal perang berukuran kecil.

Alih-alih kekayaan yang dikeruk dari Kerajaan Sarnbas dan kerajaan lain di sekitarnya, lebih dari cukup untuk membeli kapal perang. Jadilah kapal itu hadir di laut wilayah Borneo Barat.

Kapal perang besi milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Departemen van Marine bagian dari Departemen van Oorlog van Beleg) ini pernah masuk melalui Sungai Sambas Besar ke Kartiasa dan sempat dipertontonkan kepada khalayak ramai pada pertengahan tahun 1937. Selain mempertontonkan kapal perang, kolonial Belanda juga mendemontrasikan tiga pesawat terbang ampibi (Katalina) yang sempat berlabuh di Kartiasa. Seperti kapal perang tiga pesawat pemburu ini berfungsi menangkis serangan puluhan pesawat dan kapal perang Jepang. Namun belakangan tiga pesawat ampibi Belanda itu hancur tatkala pesawat terbang Jepang menembaknya ketika terjadi perang udara di wilayah Pontianak.

Bagi warga Sambas mendengar kehadiran kapal perang merupakan hal yang asing Ini menjadi tontonan yang menarik lagi pula gratis. Berbondong-bondong mereka pergi ke Kartiasa, tak terkecuali bagi penulis kendati masih berusia dini ikut dibawa orang tua Abdul Gafar Achmad menaiki perahu sampan diberi kajang melihat dari dekat, kebolehan kapal perang tersebut sebenarnya rencana pemerintah kolonial Belanda membeli kapal perang dari kekayaan Kerajaan Sambas itu tidak berjalan mulus.

Rencana itu sempat ditentang oleh seorang Anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bernama Raden Muslimun Nalaprana, seorang putra asal perhuluan Sambas. Justru Raden Muslimun mengusulkan sebaiknya uang yang banyak itu untuk dibangunkan dua jembatan beton. Menurutnya, dua jembatan batu tersebut banyak manfaatnya antara lain memudahkan transportasi bagi rakyat Sambas dari seberang satu ke seberang lainnya, ketimbang untuk menambah kapal perang Angkatan Laut Kerajaan Belanda Departemen Van Marine). Toh uang tersebut juga dari hasil kekayaan rakyat Sambas melalui Kesultanan Sambas.

Alangkah besarnya perjuangan seorang Anggota Volksraad DPRD sekarang) Sambas demi daerahnya. Padahal, masa itu adalah jaman penjajahan Belanda, yang sewaktu-waktu apabila pihak penjajah tidak senang dengan seseorang bisa disingkirkan, bisa diasingkan, atau lebih dari itu bisa dihabisi. Namun bagi Raden Muslimun Nalaprana, tidak ada kata kompromi apabila memperjuangkan kepentingan rakyat, walaupun nyawa sekalipun sebagai taruhannya. Ternyata usul beserta dalil-dalil yang dikemukakan Raden Muslimun Nalaprana tersebut dapat diterima pemerintah kolonial Belanda maka pada tahun 1937 mulailah dikerjakan dua penibangunan jembatan beton sekaligus.

Beberapa tahun kemudian pembangunan dua jembatan beton tersebut rampurng, bertindak sebagai kontraktor pelaksana adalah pemborong berkebangsaan Jerman bernama Herr Maschine. Karena lidah orang Sarnbas sulit menyebutkan nama tersebut dan lebit mengenainya sebagai Tuan Masing. Pelaksana di tunjuk Ir. Raden Soetjipto kabarnya Ir. Soekarno-lah yang semestinya sebagai pelaksana, namun karena diasingkan penjajah Belanda di Bengkulu, akhirnya ditunjuk Ir. Raden Soetjipto.

Semula Gertak Asam yang sudah ada dibangun oleh Sultan Mohammad Tsafiuddin, dibongkar untuk dijadikan lokasi pembangunan jembatan beton yang kokoh. Sementara para kuli bangunan didatangkan dari pulau Jawa dan pulau Madura, termasuk satu diantaranya bernama Bagal yang kemudian menjadi seorang polisi bertugas di Sambas.

Mengapa kulinya orang Jawa dan orang Madura?, karena selain mereka sudah berpengalaman, mereka juga terkenal pekerja keras, sebagai pengawas kuli bangunan ditunjuk (Wak) Karmuna orang Madura bertubuh tinggi besar lagi kekar, berkumis melintang dengan pakaran khas daerahnya hitam-hitam dan kaus oblong merah putih bergaris-garis ciri khas lainnya Wak Karmuna selalu membawa parang panjang mengkilat.

Dirinya disegani kuli bangunan asal Madura, Wak Karmuna bersama istrinya tinggal di serambi luar rumah Ali Achmad yang tak lain kakek, rumah yang sama pernah tinggal A. Rasyid sekeluarga ketika dia menjadi Anggota DPRD Sambas dari Fraksi Masyumi Kala itu anak-anak A. Rasyid masih kecil termasuk Ir. Buhanuddin A. Rasyid (Bupati Sambas sekarang). Untuk membangun jembatan beton yang kokoh, terlebih dahulu kuli bangunan diperintahkan untuk mencuci pasir dan batu hingga bersih, kemudian pasir dan semen diayak (ditapis). tidak seperti sekarang ini, membangun secara asal-asalan yang penting waktu ditargetkan (waktu kalender) tercapai dan uangnya bisa dicairkan. Sebelum Ir. Raden Soetjipto dan anak buahnya membangun jembatan batu begitu orang Sambas menyebutnya terlebih dahulu di sampingnya dibuat peretak sementara yang berasal dari kayu belian bulat amat tahan dari terjangan air sungal Teberau Sambas.

Tunggul-tunggul kayu sepelukan orang dewasa ini sampai sekarang masih ada tertancap di dasar sungai karena pembuatan geretak darurat itu terkena rumah Ali Achmad, terpaksa rumah tersebut dibongkar, apabila jembatan beton selesai dibangun rumah tersebut dijanjikan dibangun kembali yang lebih bagus dan kokoh.

Hal yang sama dilakukan pada jembatan beton di Kampung Durian-Kampung Lorong dibuat geretak sementara. Kala itu Ir. Raden Soetjipto tinggal sementara di rumah Maharaja Imam Sambas Basiuni Imran di Kampung Durian, Rumah besar itu dianggap bisa menampung beberapa kepala keluarga, untuk mengenang jasanya, jalan di mana dia pernah tinggal sementara di Sambas oleh Pemda Sambas, diabadikan sebagai Jalan Ir. Soetjipto. Namun tatkala pengerjaan dua jembatan beton baru 90 perseri rampung, tiba-tiba Ir Raden Soetjipto mendadak sakit keras. Kemudian beberapa hari dirinya meninggal dunia, dan jasadnya dimakamkan di Komplek Makant Sultan Mohammad Tsafiuddin II di Kampung Dalam Kaum Garnbas. Letaknya persis di bagian belakang sebelah kanan dari makam Sultan Mohammad Tsafiuddin II. Di batu manner kuburannya tertulis nama dan tanggal wafat Ir. Raden Soetjipto.

Tatkala pemakamannya, tuan Masing ikut melayat, dia menangis terharu, sebagai patner kerja, Ir. Raden Soetjipto adalah patner kerja yang baik bagi tuan Masing. Begitu pula pertemanan antara keduanya, saling tidak menyinggung perasaan walapun beda bangsa. Kematian Ir. Raden Soetjipto amat disesalkan tuan Masing Maklum, dua jembatan beton belum rampung secara keseluruhan, sementara itu Kerajaan Beranda diserbu tentara payung Jerman (Lucht Wappen) pada tanggal10 Me. 1940.

Lima hari kemudian Belanda menyerah Pusat pemerintahan Belanda di Amsterdam dipindahkan ke London, Ratu Wilhelmina terpaksa ikut boyongan di ibukota Inggris tersebut. Akibat penyerangan tentara NAZI Jerman, penmerintah kolonial Belanda menginstruksikan supaya orang-orang Jerman yang berada di jajahan Hindia Belanda ditangkap sebagai tawanan perang. Tak terkecuali tuan Masing yang masih berada di Sambas. Agar dua jembatan beton bercat putih yang sudah rampung tersebut tidak kelihatan dari udara melintang di atas sungai oleh tentara udara Jepang, maka pemerintahan kolonial Belanda menginstruksikan agar di cat hitam dengan belangkin Pembelangkinan tersebut dilakukan pada akhir tahun 1941.

Sumber : Tim Ridho Rezky, Fredikus Jaka Sembara, Tri Yumelda, Stevhani Whulan Juli