PONTIANAK – Dalam beberapa minggu terakhir, dunia hukum di Indonesia dihebohkan oleh penetapan status tersangka pada Tom Lembong terkait kebijakan impor gula yang diambilnya. Kebijakan tersebut dianggap mengandung unsur pidana yang perlu dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, memberikan pandangannya mengenai polemik ini. Menurutnya, kebijakan adalah langkah penting yang harus diambil oleh seorang pemimpin dalam kondisi tertentu untuk menyelesaikan situasi yang mendesak. Dalam proses pengambilan kebijakan, setiap keputusan biasanya sudah melalui berbagai kajian, baik yuridis maupun implementasi.
Kajian yuridis, misalnya, berkaitan dengan apakah keputusan itu merupakan kewenangan instansi yang bersangkutan atau kewenangan yang melibatkan berbagai pihak serta aturan hukum yang menjadi dasar pengambilan kebijakan tersebut. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah sejauh mana kebijakan tersebut menyentuh kepentingan publik.
Namun, menurut Dr. Herman, benar atau salahnya suatu kebijakan sering kali baru dapat dievaluasi setelah kebijakan tersebut dijalankan, yang biasa disebut dengan istilah “post factum.” Jika hasil kebijakan membawa manfaat positif bagi masyarakat, kebijakan itu dianggap berhasil. Sebaliknya, kebijakan dianggap salah jika tidak memenuhi ekspektasi publik.
Pertanyaannya, apakah kebijakan yang dianggap keliru tersebut dapat dijerat pidana? Dr. Herman menegaskan bahwa jika kebijakan yang tidak sesuai ekspektasi publik langsung dianggap sebagai tindak pidana, maka para pengambil kebijakan mungkin akan merasa takut untuk mengambil keputusan. Ini akan berdampak buruk bagi proses pengambilan kebijakan dan inovasi di sektor publik.
Dr. Herman juga mengingatkan bahwa dalam KUHP Pasal 50 disebutkan, “barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan, tidak boleh dihukum.” Artinya, kebijakan yang diambil dalam rangka melaksanakan undang-undang tidak dapat dipidana, selama kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan yang diberikan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penetapan tersangka hingga hukuman pidana terhadap beberapa kepala dinas atau pejabat publik lain atas kebijakan yang dianggap keliru dapat mengakibatkan stagnasi dalam inovasi pelayanan publik.
“Situasi ini diperparah oleh kasus-kasus di mana para pejabat dijadikan tersangka atau bahkan ditahan hanya karena kebijakan yang diambilnya dianggap salah, meski tidak terbukti memperkaya diri atau orang lain,” jelasnya
Menurut Dr. Herman, tindakan pejabat publik yang bertujuan menjalankan undang-undang seharusnya tidak dikenakan pidana, selama tindakan tersebut berada dalam batas kewenangan yang diberikan dan tidak terdapat niat jahat atau “mens rea”. Kecuali, jika dalam proses pengambilan kebijakan tersebut terdapat indikasi perilaku koruptif, hukum pidana harus tetap ditegakkan.
Perilaku koruptif, seperti keuntungan pribadi atau keuntungan bagi pihak tertentu dari suatu kebijakan, memang seharusnya diberi sanksi. Namun, jika kebijakan yang diambil terbukti merugikan keuangan negara tetapi tidak mengandung unsur korupsi, tidak seharusnya dikriminalisasi. Sebab, kerugian negara bisa juga timbul karena faktor administratif atau wanprestasi, bukan semata-mata dari tindakan pidana.
Dr. Herman menggarisbawahi bahwa proses hukum harus berdasarkan bukti, bukan asumsi atau tekanan publik semata. Jika sebuah kebijakan tidak melampaui batas kewenangan dan tidak terdapat unsur niat jahat, maka sebaiknya kebijakan tersebut tidak menjadi objek kriminalisasi.