Kapolri Tegaskan Komitmen Berantas Mafia Tanah, Pengamat: Janji Lama yang Tak Kunjung Terbukti

KALBAR – Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, kembali menyuarakan komitmen untuk memberantas praktik mafia tanah. Pernyataan ini merupakan bentuk dukungan terhadap upaya Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam memberantas praktik kejahatan di sektor pertanahan yang kian marak terjadi.

Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Mumawar, menilai pernyataan semacam ini bukanlah hal baru. Ia menyebut bahwa di awal masa jabatan, banyak pejabat bersemangat memberikan pernyataan “hiburan untuk rakyat” dalam pemberantasan mafia tanah.

“Publik sudah sangat memahami janji-janji pemberantasan mafia tanah ini. Hampir setiap pergantian pejabat tinggi muncul janji yang sama, namun hasilnya nihil,” ujarnya. Senin, 11/11/2024

Pada tahun 2017, kesepakatan serupa telah dilakukan antara Polri dan BPN untuk memberantas mafia tanah. Kedua lembaga tersebut membentuk tim terpadu yang bertujuan untuk menekan praktik pungutan liar (pungli) dalam bidang pertanahan. Namun, hasil nyata dari kerja sama tersebut masih sulit dirasakan masyarakat.

“Apa hasilnya? Aktivitas mafia tanah malah semakin merajalela,” kata Dr. Herman Hofi.

Pada kesempatan terbaru, Jenderal Listyo Sigit dan Menteri ATR/BPN berkomitmen untuk “menzerokan” mafia tanah. Mereka berjanji akan mengenakan sanksi pidana berlapis terhadap pelaku, mulai dari pidana umum hingga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Namun, menurut Dr. Herman, masyarakat sudah semakin skeptis terhadap janji-janji semacam ini. “Masyarakat sudah tidak heran lagi, bahkan nyaris tidak percaya. Antara pernyataan dan tindakan nyata pemberantasan mafia tanah hampir selalu tidak sinkron,” tambahnya.

Kasus mafia tanah terus meningkat, terutama di daerah pedesaan dan kawasan dengan sumber daya alam yang tinggi. Di Kalimantan Barat, misalnya, berbagai kasus pertanahan yang melibatkan perusahaan besar semakin marak. Tanah masyarakat yang sudah diwariskan secara turun-temurun, bahkan yang telah bersertifikat, tiba-tiba diambil alih oleh perusahaan besar. Ketika warga mempertahankan haknya, mereka justru dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan hukum.

“Tidak ada upaya konkret dari aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal, aturan hukum terkait pertanahan sudah sangat jelas,” ungkapnya Dr. Herman Hofi

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ketidaktahuan masyarakat, terutama di pedesaan, sering dimanfaatkan oleh mafia tanah. Mafia tanah bekerja secara sistematis, melibatkan oknum aparat desa, pejabat BPN, hingga penegak hukum. Hal ini menjadikan mafia tanah seolah-olah kebal hukum, terutama jika kasusnya melibatkan perusahaan besar.

“Masyarakat sering kali terintimidasi. Ketika mereka melapor, kasusnya kerap berlarut-larut atau bahkan tidak ditindaklanjuti. Ini adalah potret kelam perlindungan hukum kita terhadap korban mafia tanah,” ujarnya.

Dalam KUHP Pasal 263 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa memalsukan surat dapat dikenakan hukuman pidana penjara hingga enam tahun. Sementara itu, jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah juga tercantum dalam berbagai peraturan, seperti UUPA, PP No. 24 Tahun 1997, dan UU No. 39 Tahun 1999.

Namun, Dr. Herman menilai bahwa aturan-aturan ini tidak efektif karena penegakannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Peraturan perundang-undangan terkait perlindungan masyarakat terhadap mafia tanah hanya sekadar formalitas karena tidak diterapkan dengan benar dan baik,” katanya.

Di Kalimantan Barat, misalnya, upaya pemberantasan mafia tanah yang melibatkan perusahaan masih sangat minim. Masyarakat berharap agar pihak terkait, khususnya aparat penegak hukum, dapat melakukan penindakan yang tegas dan nyata terhadap pelaku mafia tanah, tanpa pandang bulu.

Masyarakat berharap agar pernyataan dan komitmen pemberantasan mafia tanah ini tidak hanya menjadi janji kosong, tetapi juga ditindaklanjuti dengan langkah konkret di lapangan. (Hadin)