Aktivis Perempuan Sesalkan KPU dan Bawaslu Kalbar yang Abai terhadap Afirmasi Keterwakilan 30 Persen Perempuan

LINTAS NEWS, PONTIANAK –  sejumlah Aktivis Perempuan yang terdiri dari Umi Rifdiyawaty, Putriana dan Siti Rohimah menyesalkan penyelenggara Pemilu antara lain KPU Kalbar dan Bawaslu Kalbar yang abai terhadap keterwakilan 30 persen perempuan dalam Daftar Calon Tetap DPRD Provinsi Kalbar pada Pemilu 2024. Selasa (30/1)

Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya, para aktivis perempuan tersebut melaporkan KPU Kalbar kepada Bawaslu Kalbar tentang dugaan pelanggaran administratif atas tidak terpenuhinya kuota paling sedikit 30 persen perempuan dalam DCT di 39 Dapil. Setelah diperiksa dalam persidangan, kemudian diputuskan oleh Bawaslu Kalbar melalui Putusan Bawaslu No. 003/LP/ADM.PL/BWSL.PROV/20.00/XI/2023 yang menyatakan bahwa KPU Kalbar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi Pemilu, kemudian Bawaslu Kalbar memerintahkan KPU Kalbar untuk melakukan perbaikan administrasi terhadap keputusan KPU Kalbar No. 30 Tahun 2023 dan kemudian untuk memperbaiki keputusan tersebut terhadap keterpenuhan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan di 39 Dapil DCT Anggota DPRD Provinsi Kalbar.

 

Para Aktivis Perempuan ini menyatakan penyesalannya karena putusan Bawaslu Kalbar sangat tegas dan nyata memerintahkan kepada KPU Kalbar untuk memperbaiki keputusan KPU Kalbar No. 30 Tahun 2023 agar memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan dalam 39 Dapil DCT yang belum memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan, namun faktanya sampai saat ini menjelang 14 hari pemungutan suara, KPU Kalbar tidak menindaklanjuti putusan tersebut dan bahkan Bawaslu Kalbar sendiri sebagai pemutus atas sengketa tersebut tidak melakukan pengawasan atas tindak lanjut putusan yang telah dibuatnya.

Umi Rifdiyawaty menyampaikan seharusnya KPU Kalbar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 Pasal 15 huruf i dan Pasal 17 huruf j yang mengatur tentang tugas dan kewajiban KPU Provinsi untuk melaksanakan putusan Bawaslu dan/atau putusan Bawaslu Provinsi. Dan Pasal 462 yang menyatakan KPU Provinsi wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi paling lama 3 hari kerja sejak tanggal putusan dibacakan.

“Dengan demikian KPU Kalbar tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tersebut terkait putusan No.003 tahun 2023,” papar Umi Rifdiyawaty.

Sementara Putriana juga menyampaikan penyesalannya terhadap KPU Kalbar yang abai pada putusan Bawaslu Kalbar. Karena menurut Putriana, keterwakilan 30 persen perempuan dalam DCT harus menjadi komitmen dari penyelenggara Pemilu, yakni KPU Kalbar, karena ini menyangkut kualitas demokrasi, khususnya di Kalimantan Barat. Sehingga alasan surat suara sudah dicetak ataupun logistik lainnya sudah didistribusikan tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menindaklanjuti putusan tersebut.

“Alasan KPU Kalbar untuk tidak memperbaiki karena logistik sudah disebarkan, padahal jangankan memperbaiki yang sedang berproses, yang sudah ditetapkan saja masih bisa disengketakan, jadi hal substansi tidak boleh dikesampingkan oleh hal-hal yang bersifat teknis, karena ini menyangkut kualitas demokrasi,” papar Putriana.

Adapun Siti Rohimah juga menyampaikan penyesalannya terhadap Bawaslu Kalbar yang tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.7 Tahun 2017 Pasal 97 huruf e angka 3 yang menyebutkan bahwa Bawaslu Provinsi bertugas mengawasi pelaksanaan putusan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten Kota. Dan Pasal 464 yang menyebutkan bahwa dalam hal KPU Provinsi tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi maka Bawaslu Provinsi mengadukan ke DKPP.

Dengan demikian, aktivis perempuan ini menganggap KPU Kalbar dan Bawaslu Kalbar tidak mempunyai komitmen untuk menjaga kualitas demokrasi dalam hal ini mengawal dan menegakkan keterwakilan 30 persen perempuan.