LINTAS NEWS, PONTIANAK – Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik menyampaika, pengusaha jasa konstruksi pekerja proyek pemerintah atau pengadaan barang dan jasa mengeluhkan selalu diperiksa APH dengan alasan kesalahan yang tidak jelas. Hal ini berimplikasi mengganggu ketenangan dalam bekerja dan berdampak buruk pada pekerjaan.
“Sering diperiksa APH untuk alasan yang tidak jelas, setiap kali mengerjakan proyek pemerintah, perlu mendapat perhatian serius dari Kapolri dan Kejaksaan Agung, tentang implementasi nota kesepahaman yang sudah ditandatangin dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa,” sampainya Herman Hofi Munawar. Sabtu, 24/2
Menurutnya, setiap yang dianggap ada persoalan terhadap pengadaan barang dan jasa, APH selalu melakukan pendekatan pidana. Regulasi sudah jelas bahwa proses pengadaan barang dan jasa merupakan proses administratif yang seharusnya diselesaikan melalui pendekatan hukum administrasi.
“Jika lembaga pengawasan internal menemukan kerugian negara akibat kesalahan administratif, maka mekanisme pembayaran ganti rugi keuangan negara itu sudah diatur dalam Pasal 20 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,”
Jika ternyata tidak ada penyalahgunaan wewenang, kerugian negara dibebankan kepada Badan Pemerintahan dan sebaliknya jika kerugian akibat penyalahgunaan wewenang, maka harus diganti oleh Pejabat Pemerintahan.
“Jangan apapun persoalan selalu berujung pada pendekatan pidana. Seharusnya lebih diutamakan pendekatan perdata dan administrasi, jika pendekatan administrasi dan pendekatan perdata sudah optimal baru dilakukan pendekatan pidana. Selama ini apa saja yang terjadi pada pengadaan barang dan jasa selalu dilakukan pendekatan pidana,” terangnya.
Padahal sangat jelas pengadaan barang dan jasa tidak dapat dilepaskan dari hukum perdata karena kedua pihak diikat dalam kontrak atau perjanjian. Dalam kontrak tertera hak dan kewajiban para pihak, satu pihak bersedia menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan, pihak lain yang membutuhkan barang/jasa bersedia membayar harga yang ditetapkan.
“Perpres sudah jelas menegaskan bahwa kontrak Pengadaan Pengadaan Barang/Jasa adalah perjanjian tertulis antara Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola,” jelasnya.
Sementara dalam implementasi kontrak. Maka Para pihak diikat pada Pasal 1338 dan 1340 KUH Perdata. Selain itu juga prinsip-prinsip ultimum remedium dalam penerapan pidana seharusnya juga berlaku juga untuk pengadaan barang dan jasa.
Sebagai mana kita pahami bersama bahwa pengadaan barang dan jasa diatur tidak hanya diatur dalan satu bidang hukum,bahkan tetapi terkait sejumlah bidang hukum sekaligus. Selain itu dalam kontrak Barang dan jasa miliki pemerintah bersifat individu atau perorangan / badan hukum privat dengan pemerintah sebagai badan publik.
Suatu hal yang sangat membingungkan para akademisi dan praktisi hukum pendekatan pidana yang lebih didahulukan oleh APH.
Persoalan Pengadan barang dan jasa berasuransi dengan hukum administrasi dan hukum perdata, maka seharusnya prinsip ultimum remedium lebih di utamakan sebagai upaya terakhir setelah pendekatan perdata dan administratif dilakukan.
“Jika tidak ada niat berbuat jahat, tidak ada mens rea untuk melakukan penyimpangan, seharusnya para Pengguna Anggara (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak perlu takut, sepanjang telah dilakukan prosedural dan tidak boleh ditakut takuti oleh APH,” tuturnya Herman Hofi.
Organisasi jasa konstruksi atau pengadan barang dan jasa harus ada sikap atas mal praktek penerapan hukum yang di lakukan APH.
Lembaga pengawasan internal pemda harus di perkuat bentuk mengoptimalkan tugas dan fungsi nya. Sekali lagi saya dipertegas bahwa kesalahan administrasi mikanisme penyelesaiannya adalahn ganti rugi. Hal ini sudah sudah diatur dalam Pasal 20 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.