Tantangan Implementasi UU Jasa Konstruksi, Pengamat: Perlukah Perubahan Pemahaman di APH?

Foto. Dr. Herman Hofi Munawar, Ketua LBH Herman Hofi Law

PONTIANAK – Dr. Herman Hofi Munawar, pengamat hukum dan kebijakan publik, menyampaikan bahwa lahirnya Undang-Undang (UU) Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 disambut dengan harapan besar bagi para pelaku jasa konstruksi.

UU ini diharapkan dapat memberikan perlindungan baik bagi pengguna maupun penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi, khususnya proyek yang dimiliki oleh pemerintah. Sebelum adanya UU tersebut, banyak pelaku jasa konstruksi yang terjerat pidana akibat kegagalan bangunan yang mereka kerjakan. Namun, implementasi UU ini masih menunjukkan tantangan besar.

Dr. Herman menyoroti bahwa setiap kali muncul permasalahan dalam sektor konstruksi, pihak aparat penegak hukum (APH) justru cenderung menggunakan pendekatan hukum pidana, meskipun hubungan hukum antara penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi adalah hubungan hukum perdata yang diatur dalam kontrak dan UU tersebut, yang bersifat lege specialis atau khusus.

Hal ini mengindikasikan bahwa APH belum memiliki pemahaman yang mendalam mengenai kontrak konstruksi.

Seringkali, baik kejaksaan maupun kepolisian, membawa sengketa kontrak konstruksi ke proses peradilan pidana. Dalam banyak kasus, ancaman pasal KUHP atau tindak pidana korupsi seringkali dijadikan senjata utama. Padahal, untuk dapat membuktikan adanya kerugian negara dalam konteks ini, diperlukan pembuktian yang lebih mendalam sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengharuskan adanya unsur melawan hukum yang disengaja, yaitu actus reus dan mens rea.

Dr. Herman menegaskan bahwa inti dari pelaksanaan jasa konstruksi adalah kontrak yang mengikat kedua belah pihak, yang berada dalam ranah hukum privat atau hukum perdata. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam bidang jasa konstruksi seharusnya mengacu pada mekanisme hukum perdata, bukan pidana. Hal ini membutuhkan perubahan paradigma dalam cara pandang APH terhadap kasus sengketa kontrak konstruksi.

Lebih lanjut, peraturan terbaru, seperti UU Nomor 2 Tahun 2017 dan peraturan pelaksanaannya melalui PP No. 14 Tahun 2021, mengatur sistem penyelenggaraan jasa konstruksi dengan lebih jelas.

Dalam UU tersebut, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab penyedia jasa atas kegagalan bangunan, serta sanksi yang diberikan berupa sanksi administratif, bukan pidana.

Pasal-pasal yang mengatur kegagalan bangunan, seperti Pasal 63, 65, dan 67, menegaskan bahwa kegagalan bangunan adalah masalah perdata yang harus diselesaikan sesuai kontrak, dan tidak selalu melibatkan hukum pidana.

Terkait dengan kegagalan bangunan, Dr. Herman menjelaskan bahwa dalam hal ini, tim ahli akan melakukan penelitian untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab secara perdata. Penilaian ini berdasarkan pada UU yang memberikan peran kepada ahli untuk memberikan penilaian yang objektif.

Dr. Herman mengingatkan pentingnya kredibilitas penilai ahli yang harus berpegang pada kode etik profesinya, bukan bertindak sesuai pesanan pihak tertentu. Ahli harus mematuhi keahlian dan prinsip keadilan dalam memberikan penilaian.